
Ada sebuah iklan yang menggambarkan sebuah anak dari orang kaya dan ia ingin mencari jati dirinya sendiri. Ia berjala. Sendirian dan tanpa alat transportasi. Ia selaku naik angkutan umum untuk singgah dari destunasi satu ke destinaai lainya. Ia hanya berbekal tas rangsel, hand phone dan kamera. Ada cerita unik dalam kisah ini. Cerita tentang bagaimana berhaja dan bergotong royong ketika anda berada di desa. Digambarkan ketika bedug tiba, masjid – masjid dan mushola – mushola penuh para mereka yang berpuasa dan bebas berbuka tanpa harus diselipi sebuah kepentingan. Dimana orang desa cenderung lebih ramah dan suka berbagi ketika melihat rantauan yang saat senja masih dijalan. Inilah desa, budayanya tidak bisa dihitung dengan matematika dan harta kebersamaanya tidak bisa diukur dengan materi.
Saya mempercayai bahwa ketika kita hanya fokus dengan hiruk pikuk urusan dunia, maka makna dari harta yang sebenarnya itu semakin jauh dari diri kita. Makna sebuah kebersamaan, makna sebuah kegotongroyonhan dan makna sebuah hifup akan menjadi sia sia… bahkan terkadang kita akan membenci saudara kandung kita hanya karena materi. Kita akan lepas talisilaturahmi katrena materi… makanya benar salah satu guru saya mengajari bahwa sesungguhnya hidup dan kebahaguaan yang sebenarnya adalah berbagi… apapun itu, sekecil apapun itu, semampu kamu dan selama hidupmu…
Desa dan berbagi, 5 tahun yang lalu ketika saya menyendiri saat bulan ramadhan disebuah desa di ujung selatan kabupaten malang, saya duduk di teras muahola. karena desa itu sangat jauh dari hiruk pkikuk kota, maka ketika senja tiba tidak banyak manusia yang berlalu lalang dijalan. semua sedang berada dirumah yang hangat untuk bersantap berbuka. Setelah hampir 10 menit dari beduh magrib dimushola tersebut, saya hanya membatalkan puasa dengan air mineral yang ada di tas saya. setelah itu saya berwudlu dan bergegas shalat magrib. Mushola ini terletak hampir 1 km dari pusat desa, sehingga sepi dan sunyu… tak lama kemudian datanglah sebuah orang tua yang menghampiri saya, menyapa dan memegang pundak saya, mas dari mana, dan apakah mas sudah berbuka? Kalau belum ayok mari kerumah bapak, disana ada makanan yang cukup untuk mengganjal perut. Ada sebuah sapa yang tulus dari bapak ini, kadang ketulusan itu yang membikin saya bangga… Indonesia masih punya hati.. hati itu ada di desa…
Saya menuju rumah orang ini yang berjarak kurang lebih 200 m. Bukan sebuah rumah yang layah huni. Dindingnya hanya terbuat dari sambungan ram raman jerami, atapnya pun dengan bahan yang sama. Hanya untuk bagian dalam dari atapnya diberikan plastik agar ketika hujan airnya tidak masuk kedalam. Saya duduk dan melihat betapa baiknya orang ini dan betapa dermawanya. Saya duduk dan diberi segelas air dari rebusan, masih terasa bau khas kayu api untuk menanaknya. Dikeluarkanya piring dengan alas daun pisang. Disana ada pohong goreng, ada pisang yang dibakar bersama kulitnya dan ada talas yang telah direbus. Saya langsung menyantapnya tanpa basa basi. Makanan ini sungguh sangat mengenyangkan daripada steak and shake yang biasa saya beli. Bukan karena makananya dan bukan karena gurihnya, melainkan ketulusan, kebaikan dan kesederhanaan bapak ini yang membuat saya berkaca, saya mulai melihat kebawah… saat itu saya ingin meneteskan air mata bukan karena putus cinta, melainkan sebuah pelajaran yang sangat berharga, pelajaran yang jauh lebih berharga daripada semua sks yang ada di bangku kuliah. Belajar bukan dari dosen atau guru, melainkan belajar dari sebuah keserhanaan desa… kesederhanaan dan kebahagiaan dengan sebuah kekurangan.
Saya mulai berbincang setelah perut kenyang. Berbincang mengenai kehidupan di desa ini sampai apakah setiap hari makan pohong atau berselingan dengan nasi. Nasi bagi bapak ini merupakan makanan paling mewah sepanjang hidupnya. Kalau dihitunh dalam setahun ia dan keluarganya hanya makan nasi tidak lebih dari 8 bulan. Setelah itu ia terbiasa makan singkong, talas dan umbi umbian karena sebuah keterbatasan. Namun yang saya salut adalah, tidak ada rasa mengeluh, tidak ada rasa menyerah dan tidak ada rasa benci terhadap nasip. Saya mulai sadar kala itu, bahwa kebahagiaan itu sederhana, kebahagiaan itu adalah berbagi dan kebahahiaan itu adalah keihlasan.
Sederhana, berbagi dan ihlas…
Sifat ini bertengangan dengan ego dan gengsi kebanyakan dari kita. Memaksakan kehendak agar dilihat wah oleh lainya… setelah itu bahagianya selesai. Ketika orang sudah tidak menganggap mobilmu keren, rumahmu paling gede dan gadgedmu paling cnggih maka selesai sudah kebahagiaan itu. Selesai sudah rasa wah yang ada di diri kita…. Namun ketika kita berfikir dan melakukan bahagia itu adalah ketika kita bisa berbagi kepada mereka. Maka kebhagiaan itu tidak akan hilang sampai mungkin yuhan mencabut nyawa kita. Berbagi tidak hanya materi, melainkan pengalaman, cerita dan ilmu… tinggal pilih anda mau bahagia lewat mana…
Seorang guru sederhana, bukanlah guru yang memakai dasi dan berpakaian rapi dengan mobil mewah. Guru sederhana adalah manusia yang dapat berbagi dari sekecil apapun yang dimilikinya…
Menyukai ini:
Suka Memuat...